Kamis, 24 Januari 2013

Semangat Cinta Rasul Bukan Sekadar Manis di Bibir



KELAHIRAN Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabi’ul Awwal selalu dijadikan peringatan yang sakral di negeri ini. Juga di sebagian belahan dunia Islam lainnya. Peringatan itu dilakukan dengan berbagai macam kegiatan, seperti mengadakan tabligh akbar, gelar dzikir akbar, shalawat massal, hingga dikemas dalam bentuk aneka perlombaan, terutama bagi anak-anak.
Peringatan yang lazim disebut “maulid nabi” tersebut menjadi bermakna manakala dilandasi oleh semangat meneladani sosok Nabi Muhammad SAW. Meneladani beliau karena kita telah mengimaninya sebagai utusan Allah Ta’ala, yang juga manusia terbaik sepanjang zaman.
Keteladanan beliau dapat diungkap dari sisi kepemimpinannya, baik sebagai pemimpin keluarga maupun umatnya, juga pembangunan karakter manusia dan akhlaknya, pendidikan, penegakan hukum, dan sebagainya.

Sayangnya, syiar “maulid nabi” di sebagian masyarakat kita masih baru sebatas bermakna seremonial belaka. Nabi SAW disanjung-sanjung dan dielu-elukan melalui dzikir shalawat yang digaungkan secara massal. Ditambah pula dengan penghormatan kepada beliau SAW melalui tabligh-tabligh akbar di berbagai tempat, dari kota hingga pelosok kampung.
“Maulid nabi” belum menjelma jadi sebuah gerakan, yang tidak hanya sesaat, pembaruan masyarakat Islam sebagaimana yang dicita-citakan oleh Rasulullah SAW. Sebuah masyarakat yang menjadi dambaan setiap insan di setiap waktu dan zaman.
Apa yang diucapkan (qauliyah) maupun yang dilakukan (fi’liyah) oleh Rasulullah SAW sebagai teladan terbaik, tak bisa dibantah oleh umat Islam maupun kaum lainnya. Tak ada celah, kecuali dipaksa-paksakan, kelemahan yang terdapat pada diri Rasul SAW.
Sebagian kita kadang terjebak pada pemahaman bahwa seakan-akan karena Rasulullah SAW sudah ditakdirkan sebagai utusan-Nya, maka wajar jika beliau memiliki keagungan itu sejak dilahirkan hingga ajal menjemputnya, tanp menyelami dan menghayati bahwa di balik itu, Rasulullah SAW yang sebagaimana fitrahnya, juga melewati masa-masa perjuangan dan jihad yang menguras fisik, energi, harta, hingga nyawanya.
Ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap sosok Rasulullah SAW sebagai qudwah hasanah, memang akhirnya “terbaca” dari ucapan dan perilaku orang-orang Islam di sini. Misalnya, jika mengagumi dan meneladani Rasul SAW, mengapa melakukan suap dan korupsi? Mengapa pula para hakim tidak menggunakan hukum atau syariat Islam bagi pelaku pidana yang beragama Isam? Mengapa sistem pendidikan lebih condong mengedepankan aspek material ketimbang spiritual?
Segudang pertanyaan itu masih layak kita kemukakan di tengah pengakuan, melalui lidah-lidah umat Islam yang begitu antusias saat bershalawat atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Saking semangatnya, sampai-sampai ada sebagian jamaah shalawat yang merasa “sinis” pada orang Islam manakala disebut asma Rasul SAW tapi tidak turut memberikan respons shalawat.
Semangat secara lisan dalam mengagungkan kebesaran Rasulullah SAW tidaklah keliru. Namun, idealnya, semangat itu dibarengi dengan tingkah laku dan amal perbuatan kita dalam meneladani Rasulullah SAW. Selain itu, konsistensi atau istiqamah dalam menjunjung Rasulullah SAW menjadi catatan penting pula. Semangat membela dan menyanjung Rasulullah SAW semestinya tak hanya “diluapkan” pada saat detik-detik peringatan “maulid nabi” semata. Akan tetapi semangat itu tetap membara, tanpa kenal waktu dan zaman.
Semoga kesadaran semacam ini kian meluas dan menjadi gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang kita cintai. Wallahu a’lam.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar