Oleh: Mukhlishin Muhammad, Mahasiswa UI
“JIKA tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. ..” demikian sang nenek bertutur, ia selalu memaknai hidupnya.
Sang nenek tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukannya sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.
Suatu pagi, setelah shalat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang kedelai, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi.