Kamis, 06 Juni 2013

Sportivitas dan Sikap Fair Media: PKS Tak Minta Dibela


Dalam dunia olahraga kita sangat mengenal istilah sportivitas dan fairplay. Dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya, baik itu pemain, pengurus serta badan/lembaga yang menaungi cabang olahraga tersebut harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan/disepakati bersama. Jika terjadi pelanggaran maka pihak yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi atau hukuman. Jadi semua pihak diharapkan bisa menjaga dan menjunjung tinggi sikap sportivitas dan fairplay ini.
Demikian juga dengan pemberitaan oleh media massa. Sikap sportivitas dan fairplay juga sangat diperlukan. Agar berita atau informasi yang disajikan kepada khalayak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara jurnalistik maupun moral (sosial). Jangan sampai terjadi tindakan “trial by the press” atau peradilan dengan menggunakan media massa. Yaitu sebuah istilah dalam bentuk peradilan yang dilakukan dengan menggunakan tulisan atau pembicaraan dari satu pihak secara bias, untuk kemudian dipublikasikan secara luas baik secara sadar ataupun tidak, dengan membeberkan keseluruhan fakta yang ada, sehingga menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut tidak lagi berimbang.

Tidak sportif dan fair-nya pemberitaan oleh media bisa dilihat dari beberapa peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Contoh yang paling anyar adalah ketika menulis atau mengangkat isu tentang PKS. Alangkah sedihnya saya ketika membuka sebuah website/situs yang menggunakan nama Islam, namun isi dari website tersebut (maaf) menurut saya tidak mencerminkan watak/karakter yang Islami. Rata-rata tulisan yang berkenaan dengan PKS, baik dari segi judul maupun isinya bernada “miring” semua, bahkan cenderung tendensius. Belum lagi ditambah dengan komentar-komentar yang diberikan terhadap tulisan-tulisan tersebut. Begitu mudah dan gamblangnya mereka menuding, menuduh serta memvonis PKS. Seolah-olah PKS adalah sekelompok orang jahat yang harus dimusuhi dan kalau perlu dibasmi sampai ke akar-akarnya, astaghfirullahal ‘azhim.

Saya tidak tahu siapa sesungguhnya pemilik dari website tersebut, dan di sini saya pun tidak mau menduga-duga. Akan tetapi bila menilik dari nama website, rubrik serta tulisan-tulisan yang dimuat di sana saya yakin kalau website tersebut adalah milik salah satu kelompok dari umat Islam. Jika saja yang melakukan hal ini adalah media massa non-Islam (sekuler) mungkin saya tidak akan sesedih ini. Karena saya juga tahu dan sangat mengenal bagaimana karakteristik dari media-media non-Islami (sekuler) tersebut. Namun karena yang melakukannya adalah sebuah website/situs yang mengatasnamakan Islam, maka kesedihan saya pun semakin bertambah-tambah. Hanya saja di sini saya juga tidak tahu pasti apa tujuan dan kepentingan mereka. Yang jelas menurut kacamata saya, website/situs “Islami” ini hampir sama saja dengan media/website/situs non-Islami lainnya, apabila isu sentralnya adalah PKS. Sungguh sangat jauh dari sikap sportivitas dan fairplay.

Dalam ilmu komunikasi, media massa mempunyai beberapa tujuan/kepentingan/fungsi. Menurut UU No. 40/1999 tentang Pers, disebutkan fungsi media massa itu ada 4:
  1. Menginformasikan (to inform),
  2. Mendidik (to educate),
  3. Menghibur (to entertain), dan
  4. Pengawasan sosial (social control)
Fungsi pertama, menginformasikan (to inform). Disini media massa bertugas menyampaikan informasi/berita kepada masyarakat mengenai berbagai hal atau peristiwa yang sudah dan/atau sedang terjadi. Seperti saat ini, misalnya berita tentang PKS yang “terkait” dengan kasus dugaan suap impor daging sapi yang melibatkan mantan Presidennya, Ustadz Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). Media yang bijak adalah menulis, menyebarkan dan menyampaikan berita yang terjadi sesuai dengan fakta di lapangan, tanpa ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan. Beberkan fakta yang ada, baik itu benar atau salah. Jangan cuma menulis berita yang buruk atau negatifnya saja, namun mengenyampingkan berita yang baik atau positifnya.

Dalam kasus yang menimpa LHI (PKS) saat ini, media seringkali bertindak pilih kasih alias memilih-milih moment dalam pemberitaannya. Misalnya, kesaksian Ahmad Fathanah dalam persidangan di pengadilan Tipikor (17/5/2013). Di sana Fathanah menyatakan bahwa uang 1M yang dibawanya bukan untuk LHI dan semua rencana yang terkait dengan urusan impor daging sapi adalah murni atas inisiatifnya sendiri, tanpa ada campur tangan LHI sedikitpun. Kemudian pernyataan Fathanah yang dikuatkan juga oleh Ayu Azhari, bahwa beliau bukanlah kader dan pengurus PKS (bahkan seusai sidang Fathanah sempat menyampaikan permintaan maafnya kepada PKS), juga tentang proses penyitaan mobil-mobil LHI di halaman DPP PKS, lalu isu pemutarbalikkan fakta mengenai pemukulan wartawan oleh satgas PKS, serta pernyataan beberapa pengamat senior tentang rancunya pengalihan kasus dugaan suap menjadi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Semua fakta ini hampir tak ada yang mem-publish atau memberitakannya. Semua media seakan menutup mata dan telinga mereka. Alangkah naifnya…

Sangat berbeda sekali sikapnya sewaktu terjadi penangkapan Fathanah di akhir Januari silam, dimana LHI disebut-sebut juga tertangkap tangan (OTT) oleh KPK. Padahal faktanya tidak demikian, LHI tidak berada di TKP saat kejadian berlangsung. Pun ketika beberapa nama wanita, baik yang diduga terkait dengan Fathanah maupun LHI diangkat ke permukaan, media beramai-ramai menjadikannya sebagai headline news. Bahkan ada salah satu media sosial yang mengangkat isu ini dengan sangat vulgar, tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu. Langsung menghajar LHI dan PKS tanpa tedeng aling-aling alias melakukan tindakan “trial by the press”. Hampir semua media langsung mengadili dan menjatuhkan vonisnya kepada LHI dan juga PKS. Padahal dalam pengadilan yang sebenarnya, kasus ini masih dalam proses, belum ketahuan benar-salahnya. Menurut saya, fungsi pertama ini kurang dijalankan media secara maksimal, karena banyak informasi yang sampai kepada masyarakat tidak seperti apa adanya.

Fungsi kedua, mendidik (to educate). Dalam menyajikan sebuah berita, media sangat dianjurkan untuk memperhatikan unsur ini. Dimana berita atau informasi yang diberikan haruslah mengandung nilai yang baik (positif), sehingga dapat mendorong orang untuk berbuat baik pula atau memiliki pengetahuan yang positif terhadap apa yang dibaca/ditontonnya. Kalaupun mau melakukan penggiringan opini, hendaklah dipikirkan apakah berita atau informasi yang akan disampaikan sudah benar, ataukah masih “remang-remang”, bersifat cuma dugaan saja, yang mengambil sumbernya tidak dari dua sisi (cover both side), sehingga akan menimbulkan banyak interpretasi? Dan bila memiliki data atau nara sumber (narsum), maka harus menyertakan/menyebutkan data yang valid dan narsum yang kredibel. Bukan hanya berdasarkan katanya…katanya…dan katanya…sehingga opini yang berkembang di masyarakat pun tidak liar dan melenceng ke mana-mana.
Dalam kaitannya dengan kasus yang menimpa PKS, pelajaran atau hikmah apa yang bisa diambil oleh banyak pihak? Saya menilai, bahwa fungsi ini pun tidak bisa dijalankan media secara benar bahkan cenderung diabaikan. Karena begitu banyaknya pemelintiran berita yang dilakukan oleh media terhadap berbagai masalah dalam kasus suap ini. Beberapa contohnya seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Namun sayangnya media tidak mau tahu, opini publik digiring sedemikian rupa sehingga akhirnya semua sampai pada satu kesimpulan yang sama : PKS bersalah, PKS partai korup, PKS doyan perempuan dan lain sebagainya. Lantas, di manakah letak fungsi pendidikannya?

Fungsi ketiga, menghibur (to entertain). Dalam kasus yang menerpa PKS saat ini, saya kurang memahami dimana letak nilai entertain-nya. Barangkali berita tentang para wanita serta beberapa selebritis yang dikait-kaitkan dengan Fathtanah dan LHI itulah menurut saya yang mungkin bisa dianggap “menghibur”, paling tidak bagi sebagian orang yang memang menyukai hal-hal seperti itu. Atau mungkin juga karena kejenuhan masyarakat akan kasus yang masih belum jelas muaranya ini, maka “sengaja” dimunculkanlah isu wanita-wanita tersebut. Karena dianggap memang masih memiliki nilai jual yang lumayan bagus bagi beberapa media, terutama televisi.
Fungsi keempat, pengawasan sosial (social control). Tugas media adalah melakukan kontrol sosial, baik itu kepada pemerintah maupun kepada masyarakat luas. Pengawasan/pengendalian sosial ini memiliki beberapa tujuan, antara lain agar masyarakat mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku., agar tercipta keserasian dan kenyamanan dalam masyarakat, agar pelaku penyimpangan kembali mematuhi norma yang berlaku (Bruce J Cohen). 

Dalam kaitannya dengan kasus PKS, pengawasan sosial yang dilakukan oleh media adalah bisa ditujukan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Yaitu PKS, KPK, dan media itu sendiri. Untuk PKS, apabila nanti terbukti “bersalah” maka semua pengurus dan kader PKS harus legowo menerimanya, meminta maaf dan berusaha untuk memperbaiki diri agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Untuk KPK, agar bisa bertindak sesuai dengan kewenangannya, tidak melakukan tindakan “abuse of power” (penyalahgunaan wewenang) serta tidak juga bersikap tebang pilih terhadap kasus-kasus yang sedang/akan ditanganinya. Sedangkan untuk media itu sendiri, harus mematuhi kode etik jurnalistik dan tetap fokus kepada fungsi (tujuan)nya, dengan menyajikan berita itu secara apa adanya, akurat, dan tepercaya tanpa mengada-ada atau mendramatisir masalah.

Saya yakin dan percaya, bahwa dalam hal ini PKS tak minta dibela oleh media. Akan tetapi berlaku sportif dan fair itulah yang diminta, katakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah!!

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar