Rabu, 26 Juni 2013

Kita, Cinta dan Inspirasi



Sejak kapan kawan mengenal cinta? Para sesepuh kita mungkin akan serempak menjawab cinta ketika melihat sinema Galih dan Ratna , atau ketika menyimak lirik Chrisye, “Cinta, akan kuberikan bagi hatimu yang damai… Cintaku, gelora asmara seindah lembayung senja…” hingga penghujungnya. Pada setiap masa, musik memang relaksasi yang menyenangkan.
Sepert juga kata Tere Liye, dalam sehari, berapa juta orang jatuh cinta, berapa pasang manusia menjalani makna baru dalam hidupnya, namun tak menutup juga, berapa manusia yang jatuh dan mati karena kekonyolan dalam memaknai cinta.
Dalam sehari, dalam bangun kita hingga tidur kita kembali, cinta adalah ruh yang membangun jiwa. Cinta adalah inspirasi bagi mereka yang memaknainya dalam dan bersih. Ya, saya sangat setuju dengan kutipan kalimat Ustad Hamka dalam sajak menawannya,

“Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan.”

Teringat cinta, kita teringat hidup, teringat hidup, kita mengingat sejarah. Melly Goeslaw dengan kekhasan musiknya mengutarakan cinta sejati , cinta yang mengukir sejarah, cinta yang menggelarkan cerita penuh suka cita. Nampaknya bagi setiap manusia besar. Hidup adalah kertas, pengalaman adalah tinta, sedang cinta sebagai pewarna emas yang goresannya sedap nian dipandang.
Sebenarnya cinta, indahnya untaian perumpamaan Buya Hamka dalam menganalisis cinta.

“Jangan mencintai seseorang seperti bunga, karena bunga mati kala musim berganti. Cintailah mereka seperti sungai, karena sungai mengalir selamanya”

Cinta seperti bunga adalah kesemuan. Pada hakikatnya, ia tak lebih dari gejolak nafsu syahwati yang temaram. Namun hari-hari yang kian keruh ini menjadikan manusia mencinta sebatas bunga, ia mekar di awal musimnya, indah begitu merekah, hingga tiba waktunya saat rona merah itu layu, cinta itu pergi berpaling.
Cinta seperti sungai, itulah bentuk lain dari inspirasi. Tak pandang bulu, ia mencinta karena maksud abadi. Ia mencinta karena ia butuh untuk mencari sandaran hati, ia mencinta karena mencari sumber ketenangan hidup, cinta itu ada dalam bumi, cinta itu merekah begitu jelas di sekeliling kita, namun segelintir saja manusia mersakannya.

“Tuhan ciptakan 100 bahagian kasih sayang. 99 disimpan disisinya dan hanya 1 bahagian diturunkan ke dunia. Dengan kasih sayang yang satu bahagian itulah, makhluk saling berkasih sayang sehingga kuda mengangkat kakinya kerana takut anaknya terpijak”(Buya Hamka).


Semakin dalam kita mencari ilmu, mencari ma’rifah, mencari sumber mata air kehidupan, dekatlah kita pada cinta yang hakiki.

Hanya Allah yang tahu sedalam apa cinta kita. Hanya milik-Nya juga kerajaan cinta yang Dia tebarkan pada hamba-hamba-Nya. Cinta haqiqi yang membuat Khodijah ra melindungi Nabi dalam jerih payahnya memulai peradaban. Cinta haqiqilah yang tersemai pada Ahli Madinah hingga kota mungil itu menjelma Negeri sejuta cinta.
Kita, cinta dan inspirasi. Kita hidup. Kita belajar. Lalu kita menemukan cinta. Hanya ada dua pulihan dalam cinta; cinta yang semu akibat kelalaian kita menggali ilmu Allah, atau cinta yang menjelma inspirasi karena itu turun pada jiwa-jiwa yang penuh berisi ilmu.

Dalam menjalani hidup, cinta itu berbaur dengan manusia, tapi tak hancur. Ia melebur namun menginspirasi. Yakhtalitu walakin Yatamayyazun,bercampur namun berbeda, seperti itu nukilan kalimat Sayyid Quthb.
Kadar cinta para Mujahid pada Allah membuat mereka tegak berdiri di lorong-lorong sempit demi mempertahankan izzah ummat. Kadar cinta seorang Ibu mendidik anak-anaknya, mendistribusikan cinta Allah agar kelak generasi selanjutnya bisa mengecapnya. Kadar cinta seorang Guru menjadikannya lisan bertiara, setiap nasihatnya begitu dingin terserap sempurna, murid-muridnya pun hidup dalam semangat mencari ilmu, sungguh itu yang dicari sebagai pemurni generasi ini.
Apa yang membuat Umar bin Khattab sering menangis? Takut dan cinta.
Apa yang membuat Salman Al-Farisi datang dari negeri yang jauh, tersesat lalu menjadi budak, kemudian terseok datang dan girang bukan main bertemu Nabi? Cinta.

Apa yang membuat Abu Ubaidah bin Jarrah menggigit pecahan besi di wajah mulia Rasul, lalu mencopotnya hingga giginya tanggal dalam Peristiwa Uhud? Cinta.
Jiwa penuh Cinta itu kemudian berjalan dan membentuk lingkaran. Jiwa-jiwa yang memilikinya akan terikat kuat dalam jalinan cinta yang kental, lingkaran itu saling menguatkan. Kaum Muhajirin dan Anshar, Nabi dan sahabat-sahabatnya, Murabbi dan mutarabbinya. Hingga datang hari terakhir bagi setiap mereka mengabarkan pada Allah, bahwa mereka berhasil menjaga cinta-Nya.
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala mengatakan pada hari kiamat akan memanggil, ‘Manakah orang-orang yang saling mencintai hanya karena Aku? Pada hari ini Aku akan melindungi mereka di hari yang tidak ada tempat berteduh dan berlindung kecuali perlindungan-Ku” (HR. Muslim)
Kita, Cinta dan Inspirasi. Ya, kita mencari cinta yang membangun inspirasi.


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar