Selasa, 07 Mei 2013

"Lahirnya Pemimpin Semesta"



Ahmad Hudan Ro'isyi

Menjadi pemimpin merupakan cita cita setiap manusia. Bahkan di dalam keseharian kita dianjurkan untuk berdoa agar dijadikan pemimpin. Menjadi pemimpin merupakan social needs. Hal ini merupakan sebuah resiko hidup menjadi makhluk sosial. Kebutuhan menjadi seorang pemimpin berlaku dalam semua aspek.

Contohnya dalam tataran sosial, dalam tataran bisnis, dalam tataran keagamaan, dalam tataran entitas kebudayaan dan lain sebagainya. Walaupun dalam prakteknya seluruh tataran tersebut masuk dalam bingkai keagamaan, artinya disini agama mengambil peran yang signifikan untuk mengolah manusia menjadi pribadi pribadi unggul yang siap ditempatkan untuk berkontribusi ke seluruh tataran atau lapisan masyarakat.
Di dalam masyarakat sosialis sekalipun mereka masih membutuhkan value yang ujung ujungnya menjadi dogma mereka dalam bertindak di kehidupan. Value inilah yang menjadi energy sources untuk melakukan aplikasi kepemimpinan. Di dalam masyarakat yang meyakini agama dalam kehidupannya, value itu merupakan perasan dari ajaran keagamaan. Value itulah yang menjadikan dirinya bergerak dan mengaplikasikan kepemimpinan dalam mengelola kehidupan. 

Dalam sejarah keagamaan role model pemimpin itu dimulai oleh kakek nabi Muhammad SAW yakni Abdul Muthalib. Lihatlah peristiwa penyerangan Bakkah atau Ka’bah oleh Abrahah. Abrahah yang memulai misi penghancuran Bakkah itu awalnya dilandasi oleh sentiment keagamaan. Kecemburuan berpadu dengan semangat 'jihad' membela kebesaran agamanya, manakala usaha Abrahah yang mendirikan gereja terbesar di Yaman yang bertujuan untuk menjadikan yaman menjadi pusat peziarahan mengalahkan Bakkah kelak. Namun apa disangka bangunan gereja yang begitu besar dan indah itu ternyata tidak bisa mengalahkan pesona bangunan sederhana yang disebut Bakkah tersebut. Dari kecemburuan itulah lantas, ada semangat menyala nyala untuk menghapus Bakkah dari pikiran umat waktu itu dan mencoba mengalihkan seluruh perhatian umat ke gereja besar di Yaman. 

Epilog kepemimpinan itu dimulai manakala Abdul Muthalib hendak menemui raja Abrahah. Dimana diketahui sebelumnya 100 ekor unta milik Abdul Muthalib di rampas oleh pasukan abrahah. Ditunjukkannya kewibawaan abrahah ketika berkemah di padang gersang. Dengan beralas permadani terbaik yang  ia punya, memakai mahkota emas kebesaran, dan jubah kerajaan berjuntai dan bahkan tenunan yang halus berpadu dengan pakaian perang kerajaan. Di atas singgasananya pandangan Abrahah sedikit terganggu dengan seorang pemuda yang datang dari kejauhan dengan menunggang unta. Sosok yang jauh itu sedikit demi sedikit bergerak mendekatinya. Hingga sayup sayup terlihat jelas sosok pemuda yang amat menarik hatinya. Dia melihat cara dia menunggang, tegak tubuhnya, cara dia memperlakukan tunggangannya. Hingga turun dari tunggangannya dan berjalan ke arah singgasananya begitu jelaslah pesona kewibawaan sang Abdul Muthalib. 

Begitu seksama raja Abrahah melihat ke arah pemuda itu, perasaan terpukau dan terkagum akan liputan kewibaan yang begitu pekat dan jauh lebih tinggi daripada aksesoris yang ia pakai. sehingga ketika Abdul Muthalib berjalan kurang dari 5 langkah, secara reflek Abrahah bergegas bangkit dan melakukan salam penghormatan kepada Abdul Muthalib dalam rangka menghormati kebesaran beliau.

Lihatlah, apa yang dilakukan abrahah pada Abdul Muthalib adalah sesuatu yang jauh dari akal sehat kebanyakan. Bagaimana seorang raja dengan pasukan kavaleri, yang sanggup meluluh lantakkan kota makkah dan sekitarnya, ternyata diam tercekat begitu melihat pesona wibawa yang ditampilkan seorang masyarakat biasa laiknya Abdul Muthalib.

Semakin teranglah perkataan mulia imam Syafi’i dan muridnya, imam Ahmad bin Hambal, bahwa seseorang itu tidaklah tergantung dari pakaian yang ia kenakan. Namun tergantung pada siapa yang memakainya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama imam Syafi’i dan imam Ahmad bin Hambal memiliki karisma kewibaan yang anggun terpatri dalam jiwanya. Siapapun yang membersamainya akan merasakan keteduhan, ketaatan selaku santri, dan kewibaan yang menggejolak. Dan mafhum sandangan yang kenakan begitu sederhana dan murah tidak lebih dari beberapa dirham saja.

Dari sini lantas kita bertanya tanya apa yang menjadikan pengaruh itu muncul dari seorang manusia? Bagaimana energy itu terbentuk dan menebar radiasi pengaruhnya pada orang lain ?

Menyeksamai perkataan Lao Tzu seorang tokoh pemikir dari China bahwa ada 3 elemen pengaruh akan memancar dari diri seseorang bila ditempa yakni :

1. Credibility

Akhir akhir ini sejumlah perusahaan besar mulai menanamkan unsur pertama ini kedalam value karyawan mereka. Didasari keyakinan bahwa bisnis yang mereka kelola sumber energy terbesarnya adalah konsumen. Maka pilar penting yang menghubungkan kegiatan bisnis mereka dengan konsumen adalah trusted. Trusted inilah yang mulai dibangun pelan namun pasti, semakin membentuk citra sebuah perusahaan menjadi perusahaan yang memiliki kredibilitas. Bila modal kredibilitas ini sudah dipunyai maka ditunailah apa yang disebut “sustainable entrepraise”. Perusahaan yang memiliki keuntungan terus menerus dan berdaya tahan lama. Bukan keuntungan menggiurkan namun sesaat sesudah itu hilang tak berbekas. 

Sudhamek AWS seorang CEO dari Tudung Group pernah mengatakan “Anda bisa jatuh berkali kali dalam hidup ! namun selama anda punya integritas yakinlah bahwa anda pasti bisa bangkit kembali”. 

Intergity itu adalah gabungan antara trusted + Credibility. Pantaslah rosulullah begitu lama bertahun tahun memegang predikat trusted itu. 

Kalaulah di BUMI Firdaus ini anda memiliki predikat trusted, maka kira kira kekuatan besar manakah yang hendak menghalangi? Jendral kah, Opini pemilik media kah, Ormas ormas penebar fitnah kah, tokoh tokoh politik kah atau pengusaha kah? Tidak ada yang sanggup menghalangi kekuatan besar Trusted. 

Kekuatan trusted ini adalah kekuatan NURANI yang menjadi RUH setiap manusia berhati kotor sekalipun. Kalaulah ada manusia yang melawan kekuatan nurani, maka sejatinya dia tengah melawan diri sendiri. Karena itu hanyalah tinggal menunggu waktu  sampai kapan dia sanggup melawan hati nuraninya sendiri. Nurani itu adalah fitrah ketuhanan yang dihembuskan Allah SWT kepada setiap hamba. Apapun agamanya, apapun sukunya, budaya, adatnya tidak ada yang sanggup menghilangkan fitrah fitrah kemanusiaan ini. sekali lagi kalaulah ada yang melawan nuraninya sendiri maka dia tengah melawah fitrah ketuhanan. Lantas siapakah yang menang bilamana dibenturkan 2 aspek ini ? tanpa harus menjawab….. yakinlah bahwa kita semua sudah mempunyai jawabannya.

2. Intimacy

Bisa diartikan kedekatan, kepedulian atau cara membangun hubungan yang harmonis antara seorang leader dengan konstituennya. Artinya hubungan yang terbangun antara pemimpin dan yang dipimpin itu bukanlah hubungan yang jumud, beku, statis. Namun penuh dengan kedinamisan. Disana akan kau dapati hati yang teraduk aduk syarat dengan emosi hingga cerita kehidupan bak laila majnun hingga tak sedikit air mata yang basah karenanya. 

Intimacy itu bukanlah hubungan timbal jasa seperti “no Pain no Gain”.  Hubungan yang dibangun itu mematahkan batas batas persaudaraan. Komunikasi yang dibangun itu tegak diatas jembatan ketulusan tanpa ada pencitraan atau sandiwara. Kerja mereka terstruktur, terukur, dan mempunyai time line yang jelas. Kerja kerja itu bukan mengacu pada persepsi public atau hasil survey. Ada atau tidak ada hasil survey maka kerja itu tetap dilakukannya. Untuk itulah kita lihat bagaimana tokoh sekaliber Mahat magandi, Bunda theresia telah mengukir namanya dalam sejarah keabadian.

3. Reability

Kecapakapan diperlukan di dalam semua aspek, di dalam level teoritis kadang orang sangat pandai namun ketika turun ke level praktis tidak sedikit yang kedodoran. Oleh karena itu disini diperlukan kapasitas sebagai seorang leader. Bila ranah kerjanya membutuhkan keahlian administrasi maka peran itu haruslah dilakoninya secara professional dan harus expert. Tidak boleh ada kata kata “ah saya belum siap” atau “saya belum menguasai” juga “saya belum PD”. 

Bila ditarik lebih luas lagi segmentasinya ke arah Provinsi, atau negara atau bahkan DUNIA tidak boleh ada kata kata negasi itu lagi. Buatlah persepsi akhir kepada diri anda sendiri, bahwa takdir kita adalah menjadi pemimpin dengan segmentasi meng “Global”. Lalu buatlah rancangan rancangan bangunan keilmuwan apa saja yang diperlukan untuk menyokong hal tersebut. Niscaya anda akan menemukan titik terang bahwa sebenarnya ini adalah perintah TUHAN. 

Banyak sekali dalam Al qur’an kata kata retoris yakni pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Afala ta’qiluun? afala yatadabbaruun? afalaa tatafakkaruun? namun bila di zoom lebih dekat sebenarnya kalimat itu bukanlah pertanyaan namun lebih kepada sindiran. Sindiran kepada manusia yang telah diberikan modal “berlian” namun ia tanggalkan dan mensia-siakannya. 

Kapasitas atau kehandalan itu adalah sesuatu yang sifatnya terbatas terlepas seberapa luas segementasi kapasitas tersebut. Namun daya fikir itu adalah sesuatu yang tak terbatas. Apakah sesuatu yang terbatas itu mengalahkan yang tak terbatas. Hingga akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa Allah menurunkan fikir dan hati itu sudah sangat lebih dari cukup untuk menjadi pemimpin teritori, pemimpin di bumi atau bahkan pemimpin di semesta. Itu semua sangatlah mungkin dilakukan dalam kapasitasnya sebagai khalifah.

Bila ketiga hal tersebut sudah tumbuh, ternyata masih ada satu nganga yang perlu ditutup untuk lebih disempurnakan. Value yang tepat untuk menyempurnakan itu bernama “self orientation”. 

Self orientation ini menjadi sumber energi pada siapapun yang hendak bergerak. Bila ingin bergerak selama 5 menit maka pilihlah sumber energy sebesar 5 menit, bila ingin bergerak selama 5 tahun maka pilihlah sumber energy selama 5 tahun saja. Bila kau inginkan bergerak selama 1 abad lamanya maka pilihkan sumber energy yang sebanding dengan itu. Namun kau bila ingin bergerak selama mungkin maka pilihlah generasi yang menjangkau lintas batas usia, waktu, decade, atau bahkan abad. 

Sumber energy yang tak terbatas itulah yang disebut sebagai agama. Agama itu menjadi pelontar untuk lebih kencang dalam berlari. Namun agama itu juga bukan berarti slogan yang diawang awang. Namun haruslah diperas peras menjadi makhluk nyata bukanlah bayang bayang semata. Apakah kehendak tuhan yang paling utama untuk manusia. Disitulah kita berangkat.

Pandanglah sejenak dentuman jiwa sang umar bin Abdul azis ini:

“Sesungguhnya aku memiliki jiwa yang berkeinginan sangat kuat, aku bercita-cita untuk tegaknya khilafah maka saya memperolehnya, aku menginginkan menikahi putri seorang khalifah maka aku mendapatkannya, aku bercita-cita menjadi khalifah maka aku mendapatkannya, dan aku sekarang menginginkan surga maka aku berharap untuk mendapatkannya.”

Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat, "Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian." 

Salah seorang dari mereka mengacungkan tangan dan berkata, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah." Sahabat itu kelak kita kenal dengan nama Abu Ubaidah bin Jarrah. Umar kemudian melanjutkan cita cita yang lebih baik dari itu ialah “seandainya ruangan ini Allah penuhi dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah bin Jarrah yang jujur, adil dan bijaksana."

Ke 4 hal tersebut diatas bila diformulakan akan tampak seperti ini:

(Credibility + inctimacy + reability)/ Self Orientation

Bila kita sudah uji cobakan hal tersebut ke dalam diri kita maka siap siaplah menanggung resikonya.-)

Bila di dalam masa nabi nabi ada yang disebut sebagai zaman “fatrah” atau zaman terputus kenabian. Minimal rumus kepemimpinan diatas dengannya kita bisa menghilangkan zaman terputusnya kepemimpinan. Ending of the game nya adalah kepemimpinan semesta. Pada akhirnya jadilah ia firdaus di bumi asia. InsyaAllah.***

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar