Selasa, 19 Maret 2013

Spiderman Di Gunung Salak



Oleh: Eka Desyi
INI terjadi saat tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi Super Jet 100 di tahun lalu. Kami berada di kamar depan yang biasanya kami pakai untuk ruang santai dan menonton tv. Kadang ruang ini juga jadi tempat segala hal. Karena hanya di ruang ini saja kami merasa nyaman dengan duduk dilantai yang bersih. Mengamati Mada, entah apa yang sedang dia buat dengan segala mainannya. Dari yang namanya dakon, bekel, puzzle, gambar kartun, buku mewarna dan banyak lagi yang lainnya.
Dia bercerita, kalau dirinya di beri tugas oleh gurunya untuk menggambar. Well, Mada menunjukkan hasil karyanya pada saya dengan wajah malu-malu. Dan saya terdiam cukup lama dengan segala penjelasannya, mengapa dia menggambar pesawat sukhoi super jet 100? Sebuah berita yang hamper setiap hari ter uddate di media kala itu. Ternyata Mada pun tahu apa itu Sukhoi Super Jet 100. Saya mencoba menyelami dan mencoba membaca maksud dari isi gambar tersebut.

Mada : “ibu, coba ibu tebak, kenapa aku gambar dua gunung?”
Sebentar.. saya cukup lama terdiam memandangi dan bertanya-tanya kenapa ya?
Mada : “aku gambar dua gunung itu dari huruf M ? itu huruf M kan bu?”
Saya : “oh iya ya”
Imajinasi saya ternyata terlalu jauh dari sasaran, dan saya gagal membaca pikiran anak saya.
Mada : “tadi aku gambar spiderman di atas gunung salak bu, tapi aku hapus takut, teman-teman pasti meledekku, masak perempuan suka spiderman?” celoteh mada
Spiderman? Apa hubungannya dengan pesawat sukhoi? Ah makin rumit saja imajinasi anak kecil yang sedang masa pertumbuhan ini. Ataukah otak saya yang sedang mengalami penuaan sehingga tak mampu menyingkap apa yang di maksud oleh mada?
Saya : “memangnya spiderman mau buat apa di depan pesawat itu” tanyaku dengan sedikit menahan tertawa.
Mada cukup dalam memandangi gambarnya
Mada : “ kalau ada spiderman di gunung itu, kan untuk mencari orang yang meninggal tidak akan susah bu, spiderman pandai memanjat, dan tidak butuh tali, tinggal sruutt.. sruuttt… sruuutt” dia peragakan aksi spiderman dengan jarring laba-labanya.
Subhanallah, saya hampir saja meneteskan airmata mendengar penuturan Mada.
Hebatnya imajinasi anak-anak kadangkala susah terbaca oleh pikiran akal manusia dewasa. Jika dilihat hasil akhirnya, mungkin tidak akan sampai apa yang hendak disampaikan Mada dengan gambarnya. Mungkin juga tidak akan ada artinya, dengan gambar sebuah pesawat yang melintang dan 2 gunung, 1 pohon. Apalagi sempat-sempatnya ada spiderman di gunung salak.
Itulah pemikiran kita orang dewasa dengan kemampuan logika yang luar biasa tanpa imajinasi. Dalam hal ini, sungguh saya tidak pernah membatasi anak saya untuk berimajinasi, dia bebas mau jadi apa saja asal sesuai aturan main yang benar.
Sangat jauh darimasa kecil yang saya alami. Saya tumbuh besar dalam keluarga yang keras, sekali di bilang jangan ya jangan, tanpa ada alasan yang tepat mengapa saya tidak boleh ini dan itu. Imajinasi sayapun sering terbentur dengan kata TIDAK, JANGAN, TIDAK BOLEH. Dan sering pula saya nekat dan tak jarang pula saya terjungkal karena ketidaktahuan saya. Karena didikan yang seperti ini pula kadang saya merasa seperti katak dalam tempurung, perasaan takut ini takut ini selalu menghantui disetiap langkah saya. Tidak menyalahkan orang tua, saya faham sekali beliau-beliau ini susah sekali dalam mengekspresikan kasih sayang mereka. Segala larangan itupun selalu demi kebaikan saya. Saya sadari itu…
Beruntung saya diberi anugerah oleh Allah semangat belajar yang tidak pernah surut. Andai saya di beri pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, saya akan bilang saya tidak bisa, tapi saya akan terus mencoba mencari jawabannya sehingga saya benar-benar bisa menjawabnya dengan benar (dikutip dari the persuit of happiness).
Orang tua mana yang mau melihat anaknya susah seperti dirinya, setidaknya anak itu harus lebih setinggkat dari orang tuanya. Memang saya bukanlah pakar parenting, tapi dengan pengalaman masa kecil saya yang susah, saya tidak mau Mada seperti katak dalam tempurung. Dengan membiarkan dia berkreasi bertindak sesuai kemauannya, dan kewajiban saya hanyalah mengamati dan mendidik dia sesuai agama saya.
Pernah suatu ketika dia mencoba menaiki tangga yang terbuat dari bamboo, terbiar di depan rumah. Saya cukup khawatir dengan ulahnya ini, dengan tenang saya menghampirinya yang sedikit ketakutan. Saya katakan, “pegang tangga itu erat dan liat keatas nak, jangan takut jatuh ada ibu disini”. Dengan memberinya semangat dan menunjukkan cara agar dia tidak jatuh akan lebih membuatnya tahu bagaimana naik tangga dengan benar. Ya kalau kebetulan ada saya tidak akan menjadi masalah, nah andai dia naik tangga tanpa tahu bagaimana caranya pasti fatal jadinya kelak.
Seorang anak bukanlah sebuah robot yang bisa di remote. Diapun punya kemauan dan perasaan. Seorang anak bagi saya seperti teman bermain, penghibur saya di kala stress akan problema kehidupan. Tak jarang pula saya kembali seperti anak-anak ketika bermain dengan Mada. Berlarian saling kejar-kejaran tertawa lepas. Seorang anak tak ubahnya gelas yang kosong tinggal bagaimana orang tuanya mengisinya, apakah dengan air yang kotor ataukah sebening air. Maka dari itu,marilah menjadi orang tua yang cerdas dalam mendidik anak tanpa membatasi kemauan dan imajinasi mereka dan menanamkan pondasi agama yang kokoh. Insyaallah selamat dunia akhirat. Wallahua’alam

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar