Jumat, 20 Desember 2013

Cara Greget Agar Hidupmu Bergairah

Sadar atau tidak, apapun profesinya, kita perlu gairah dalam menjalaninya. Karena tanpa gairah, hidup ini tidak akan terasa indah. Bayangkan, bangun tidur saja muka sudah lecek; Melihat jam sudah malas, “Ah, masih jam segini,” lalu akhirnya tidur lagi; Kalau tidak tidur lagi, paling mandi, itu juga kalau tidak malas; Lalu berangkat kerja; Nunggu angkutan umum mengeluh karena lama; Masuk kendaraan mengeluh karena tempat kotor; Dan keluhan-keluhan lainnya.
Sadar atau tidak, sesungguhnya semakin banyak kita mengeluh maka kita akan semakin terpuruk dan tersugesti menjadi lebih buruk. Akhirnya kita menjalani waktu kita dengan muram dan suram. Padahal untuk membuat hidup lebih bahagia, yang kita perlukan adalah mensyukuri hidup ini. Kalau kata D’Masiv, “Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah.”
Ya! Kalau kita tahu hidup ini sudah susah, maka jangan kita buat susah! Nikmati saja hidup ini! Jadikan hidup ini nikmat! Masalahnya, tidak semua orang tahu bagaimana cara menikmati hidup ini yang benar. Alhasil, mereka menyalurkan rasa nikmat itu dengan cara yang salah dan menyimpang, seperti sex bebas, merokok, narkoba, hura-hura, marah-marah, dan lain sebagainya.
Apakah semua itu nikmat? Memang nikmat, tapi sesaat! Tahukah? Bahwa segala nikmat yang sesaat itu kebanyakan adalah sesat! Dan itu merupakan kekeliruan. Karena sesuatu yang mereka anggap nikmat itu tidak bertahan lama dan mengharuskan mereka untuk mencari atau melakukannya lagi dan lagi. Mereka membangun penjara hidup yang dapat menghancurkan diri mereka sendiri. Apakah kita mau nikmat itu hanya sesaat? Tentu saja tidak.

Ilustrasi (Inet)

Semua Berawal Dari Cinta
Lantas bagaimana agar kita dapat membuat hidup kita bergairah dan menjadikan segala aktivitas kita penuh kenikmatan? Jawabannya satu: cinta. Secara ilmiah, ketika seseorang sedang jatuh cinta, otak akan menghasilkan zat dopamin yang membuat orang tersebut merasa nikmat manakala sedang dekat dengan yang dirinya cintai. Maka dari itu, kalau orang sedang jatuh cinta, apapun rasanya nikmat. Diomelin sama yang dicinta, katanya omelan cinta. Ditonjok sama yang dicinta, dibilangnya tonjokan cinta. Bahkan kalau mati pun, inginnya di tangan yang dicinta. Benarlah semua terasa nikmat. Kalau kata orang dulu, (maaf) kotoran kucing pun rasanya nikmat, seperti coklat!

Zat inilah yang membuat kita terus merasa nikmat dan ingin terus mendapatkan kenikmatan itu. Kemudian perasaan ini akan melahirkan sifat adiktif yang membuat kita merasa kecanduan, sama seperti orang yang sedang kecanduan narkoba. Maka dari itu, ketika kita ingin membuat hidup ini bergairah penuh kenikmatan, jalani hidup ini dengan cinta. Lakukan yang kita cintai atau cintai yang kita lakukan!
Karena cinta juga membuat otak menciptakan zat oksitosin yang menjadikan diri kita selalu ingin berdekatan dengan yang kita cintai. Inilah mengapa cinta itu selain berisi kasih sayang, juga memiliki komitmen. Orang yang tidak betah dan kurang menghargai pekerjaannya adalah disebabkan dari tidak adanya cinta pada pekerjaannya. Maka ketika kita ingin menjadikan pekerjaan kita terasa nikmat, cintailah pekerjaan kita. Cintalah yang akan membuat kita memiliki kekuatan lebih untuk berjuang selama ini, sehingga kita bisa menciptakan kreasi dan prestasi lebih banyak lagi!

Ketahuilah, cinta itu adalah energi. Maka kebermanfaatan energi ini akan bergantung pada cara pengolahannya. Ibarat nuklir, jika diolah dengan baik bisa jadi pembangkit tenaga listrik. Tapi kalau salah kelola bisa jadi bom atom yang menghancurkan seperti yang pernah terjadi di Hirosima dan Nagasaki. Begitu pula cinta. Kalau benar kelola, bisa jadi energi yang tak habis-habis memberi gairah kenikmatan. Tapi kalau salah kelola, bisa jadi menyesatkan.
Namun sekali lagi, masih ada yang salah kaprah dalam mencari nikmat cinta. Tandanya adalah cinta tersebut hanya sebentar rasa nikmatnya dan membuat sengsara. Ujung-ujungnya, cinta mereka adalah nikmat sesaat, dan itu sesat! Ketahuilah, cinta itu ibarat energi, maka energi itu bisa digunakan sebagai PITC, Pembangkit Iman Tenaga Cinta.
Karena cinta adalah energi, maka agar tidak terasa sesaat, kita perlu mengisinya dengan sumber bahan bakar yang tidak pernah habis, berkurang, atau hilang. Dari mana itu? Tentu saja dari Allah SWT. Jadikan Allah SWT menjadi alasan cinta terkuat kita, sehingga bukan karena gaji atau apresiasi yang kita cari, melainkan ridho dan rahmat-Nya yang kita tuju. Biarkan gaji dan apresiasi menjadi bunga-bunga perjalanan yang datang dengan sendirinya ketika Allah SWT sudah ridho dengan kita. Namun ketika gaji dan apresiasi yang kita cari, mungkin kita dapatkan itu semua. Tapi soal keberkahan? Belum tentu.

Ilustrasi (Inet)

Perjelas Tujuan Kita!
Cinta sebagai komoditas utama energi kehidupan memerlukan perawatan agar tetap bergairah. Maka faktor utama yang membuat kita dapat terus menggairahkan cinta ini adalah kejelasan tujuan. Hidup yang bergairah adalah hidup yang memiliki tujuan. Sebagaimana makan jeruk, mungkin kita merasa enak saja memakannya karena rasanya yang enak. Tapi kalau kita tahu jeruk itu juga mengandung banyak manfaat dan kaya akan vitamin C, mungkin kita memakannya tidak hanya enak, tapi juga semangat.

Setiap orang yang sadar hidupnya untuk ibadah, akan terhindar dari stagnasi kehidupan. Kenapa? Karena stagnasi muncul dari kebosanan. Sentara kebosanan lahir dari perbuatan yang monoton. Orang yang hidup untuk ibadah tidak akan menjadikan hidupnya monoton. Karena dirinya selalu berusaha menjadikannya hidupnya hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari besok lebih baik dari hari ini. Tidak ada yang monoton. Waktunya terus terisi dengan kebaikan. Kebaikan-kebaikan itulah yang menjadikannya ia sibuk terhindar dari pekerjaan yang itu-itu saja. Kebaikan-kebaikan itulah yang menjadikannya hidup lebih hidup!
Jangan biarkan hidup ini mengalir seperti air. Karena air itu mengalir dari atas ke bawah. Apakah kita ingin hidup kita menurun ke bawah tanpa adanya perbaikan? Selain itu, aliran air itu tidak dapat dikendalikan. Lantas apa kita juga biarkan hidup kita tidak terkendali? Maka buatlah hidup kita seperti layang-layang, yang senantiasa meninggi dan dapat kita kendalikan.

Lihatlah orang-orang sukses. Kesuksesan mereka tentu berawal dari sebuah mimpi yang besar. Cinta tanpa disertai mimpi yang besar, akan cepat goyah. Pernikahan yang hanya didasari untuk menyalurkan kebutuhan biologis semata akan terasa kurang bergairah dibandingkan pernikahan yang memiliki mimpi untuk membangun keluarga yang sakinah, punya keturunan yang berkah, menjadi sebuah jalan ibadah meraih ridho-Nya, dan lain sebagainya. Untuk itu, di setiap pekerjaan kita hendaknya kita memiliki ekspektasi yang besar terhadap hasil yang nantinya akan kita peroleh. Tentu ekspektasi tersebut harus dibangun di atas optimisme yang tinggi. Karena mimpi tanpa optimisme sama saja bohong.
Optimisme dapat membawa kita kepada sebuah kondisi yang lebih baik. Optimisme juga mampu menjadikan kehidupan kita berubah semakin bahagia. Mengapa? Karena kehidupan yang baik itu kitalah yang menentukan. Di sinilah kita perlu membedakan antara nasib dan takdir. Nasib tidak dapat diubah, seperti kita lahir di keluarga mana, punya fisik seperti apa, dan lain sebagainya. Tapi soal takdir, itu bisa diubah. Jadi masalah cerdas, kaya, ataupun sukses bukanlah nasib yang Allah turunkan pada kita, melainkan sebuah takdir baik yang perlu kita jemput.

Mungkin pada mulanya kita sering berpikir, “Kita yang berencana, Allah yang menentukan.” Tidakkah kita ingat bahwa Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum, sebelum kaum itu merubahnya sendiri.” [QS. Ar-Ra’du: 11] Maka sekali lagi, kita perlu mengubah kondisi kita menjadi lebih baik. Atau lebih tepatnya menjemput takdir-takdir baik kita di masa depan. Allah sudah berikan rancangan kehidupan sedemikian rupa, barangsiapa yang rajin sedekah akan diberikan kelancaran rezeki, siapa yang bekerja keras dia akan menuai keuntungan, siapa yang menolong orang lain akan ditolong oleh-Nya, dan lain sebagainya. Masalahnya adalah, sudahkah kita memilih untuk itu? Sudahkah kita menjemput takdir baik itu? Lantas, bagaimana kalau kita balik, “Allah yang merencanankan, kitalah yang menentukan!”
Yakinlah, setiap pilihan itu membawa kita kepada sebuah takdir di kemudian hari. Hidup ini berlalu sangat singkat dan berisi dengan banyak pilihan. Maka sangat merugilah kita manakala membiarkan hidup yang sangat singkat ini dengan pilihan-pilihan yang salah, seperti memilih untuk malas, pesimis, kurang produktif dalam bekerja, hingga mengisi pikiran dengan hal-hal yang buruk.


Semua Itu Ada Harganya
Kalau kata Mario Teguh, “Tak ada yang dapat menjamin hidup ini berlalu dengan mudah. Untuk itu kita perlu menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya.” Begitu pula dalam upaya kita mewujudkan segala impian kita. Pasti ada ‘harga’ yang kita bayar untuk itu. Ada saja ujian yang merintanginya. Karena boleh jadi Allah tengah melihat seberapa pantas diri kita menerima takdir baik itu. Karena ketika diri kita belum mendapatkan apa yang kita inginkan, boleh jadi bukan disebabkan kita tidak ditakdirkan untuk itu, akan tetapi kita belum siap untuk menerimanya.

Sering kali kita mengeluh ketika diuji. Padahal sesungguhnya segala ujian itulah yang menjadikan hidup kita lebih bergairah! Coba saja bayangkan jika hidup ini tanpa ada ujian. Sukses-sukses saja, lancar-lancar saja, mudah-mudah saja. Nikmat tidak? Justru kita seperti pisau yang tidak pernah digunakan. Tidak tumpul tapi hancur karena karatan. Pisau yang digunakan dan tumpul itu jauh lebih baik daripada hancur karena karatan. Minimal dirinya memiliki banyak ‘pengalaman’ yang menjadikan dirinya lebih tajam daripada sebelumnya.

Maka mari kita ubah paradigma kita ketika sedang diuji, adanya ujian sebetulnya adalah kesempatan kita untuk mengasah ketajaman diri kita! Seperti emas yang indah, sebelumnya ia dibakar guna memisahkan kotoran-kotoran yang melekat padanya. Untuk itu jangan buat hidup ini datar dengan begitu-begitu saja. Tetapi buatlah dinamika yang semakin membawa kita kepada perkembangan yang lebih baik, progresif! Karena sesungguhnya seluruh ujian itu tidak lebih besar dari kemampuan kita. Bukankah Allah telah janjikan itu di ayat terakhir surat Al-Baqarah? Maka buat apa kita bersedih terhadap ujian? Berbahagialah karena kita masih diperhatikannya dengan masih diberikan ujian. Artinya kita masih diperhatikan oleh-Nya.
Apa bukti segala ujian itu tidak di luar kemampuan kita? Ambillah contoh lari maraton satu kilometer. Mungkin ketika pelatih kita mengetes, kita bisa menghabiskan waktu cukup banyak. Apalagi kalau kita jarang latihan, pasti jadi lebih lama. Tapi coba kasusnya sedang dikejar anjing. Dapat dipastikan kita dapat lari lebih cepat dari apa yang kita bayangkan. Seketika akan muncul kekuatan-kekuatan misterius yang membuat daya dorong kita jauh lebih lesat. Kekuatan itu disebut endurance, atau the power of kepepet. Karena ketika kita kepepet, terhimpit atau terdesak, kita akan takjub dengan kemampuan yang kita miliki. Hanya saja selama ini kemampuan itu lama ‘tertidur’ dan tidak terasah.

Ilustrasi (Inet)

Kita Tidak Hidup Sendiri
“Saya tidak tersenyum karena saya tidak bergairah. Saya tidak bergairah karena saya tidak bahagia. Saya tidak bahagia karena saya tidak kaya…” Selalu ada sebab akibat. Tapi kalau kita masih punya pikiran seperti ini, sepertinya memang ada masalah dengan cara pandang kita dalam menyikapi kehidupan.
Mari sekarang kita balik pernyataan tersebut dengan sekaligus menanyakannya. Bagaimana saya akan kaya kalau saya tidak bahagia? Bagaimana saya akan bahagia kalau saya tidak bergairah? Bagaimana saya akan bergairah kalau saya tidak tersenyum? 

Kesuksesan itu bukan ditunggu, tapi dijemput. Maka jemputlah! Ubah pikiran buruk kita dan jadikan lebih positif-konstruktif. Karena banyak penghambat yang sebetulnya berasal dari pikiran kita sendiri, hingga kemudian kita merasa takut gagal, tidak mau mencoba, dan merasa tidak bisa apa-apa.
Begitu pula pola pikir “Saya tidak menolong orang karena saya tidak berdaya.” Bagaimana saya akan berdaya kalau tidak pernah menolong orang? Tahukah, bahwa sesungguhnya satu hal lagi yang membuat hidup kita lebih bergairah adalah dengan mengasah kepedulian kita terhadap sesama. Sayyid Quthb, seorang tokoh pergerakan Islam menyatakan, “Ketika kita hidup untuk kepentingan pribadi, hidup ini tampak sangat pendek dan kerdil. Ia bermula saat kita mengerti dan berakhir bersama berakhirnya usia kita yang terbatas. Tapi, apabila kita hidup untuk orang lain, yakni hidup untuk (memperjuangkan) sebuah fikrah, maka kehidupan ini terasa panjang dan memiliki makna yang dalam. Ia bermula bersama mulanya kehidupan manusia dan membentang beberapa masa setelah kita berpisah dengan permukaan bumi.”

Lihatlah orang-orang sukses yang kita kenal. Kebanyakan dari mereka mengawali kesuksesan mereka bukan dengan impian ingin terkenal atau menjadi orang kaya, tetapi bagaimana membuat orang lain terbantu atau menjadi senang karena usaha mereka. Inilah yang membuat mereka semangat dan bergairah dalam pekerjaan mereka. Karena mereka bekerja bukan untuk diri mereka sendiri, melainkan karena orang banyak. Mereka ingin melihat senyum bahagia dari orang-orang itu! Mereka senang jika orang-orang itu senang.
Kita perlu menyadari bahwa kita akan sulit bahagia kalau orang lain tidak bahagia. 

Apa asiknya hidup punya segalanya tapi tidak punya manfaat apa-apa? Cepat atau lambat dirinya akan segera dilupakan, terhapus namanya dari peradaban sejarah manusia. Siklus kehidupan mengajarkan kita kalau manusia hidup begitu-begitu saja: lahir, tumbuh, jadi anak-anak, remaja, dewasa, bekerja, menikah, punya anak, menua, punya cucu, meninggal, dikubur, dan hanya menyisakan tiga tulisan yang terdiri dari nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat. Apa hanya itu yang kita inginkan? Tidak! Buatlah sebanyak mungkin kebaikan untuk menjadikan hidup kita lebih bermakna.
Sadarilah, hidup ini terlalu mahal untuk kita siakan. Cukup sudah kita larut dalam kelesuan hidup selama ini. Bergairahlah! Jemput takdir baik kita

 Deddy Sussantho Staf Ahli Kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus Syahid UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar