Rabu, 06 Februari 2013

Racun Informasi



Oleh: R. Rudi Agung P/rap al ghifari. Pernah berkecimpung di sejumlah media nasional dan daerah. Penulis sejumlah buku antologi. Saat ini mendirikan dan mengelola Dursa Media Group
HAL negatif yang beraroma Islam, pasti menjadi isu seksi bagi media. Televisi maupun cetak. Nilai negatif: personal, kelompok, ormas, partai yang berkaitan dengan Islam bisa dipastikan akan menjadi bulan-bulanan media.
Dalam penyebaran informasinya ada pemutar balikkan fakta, penyudutan dan kental dengan nuansa pembusukan citra Islam. Bahkan tak jarang, etika jurnalistik didobrak; tidak lagi ditaati. Pemberitaan tentang umat tak imbang, tidak cover both side dan sering ditayangkan di televisi, juga media cetak.

Mari simak:
Dalam kasus gereja Ciketing, dagelan teroris, ketidakadilan penangkapan Ustadz Abu Bakar Basyr. Belum lagi soal penyudutan ormas Islam, FPI, misalnya. Masih ingat tragedi FPI di Kalteng?
Anggota FPI yang didzalimi di Kalteng, diancam dibunuh, pesawat yang ditumpangi diancam dibakar, tapi justru FPI diminta bubar?
Bagaimana mungkin, media massa yang menjunjung tinggi nilai proposionalitas dalam pemberitaan tapi sangat tendensius dalam pengkonstruksian berita ihwal FPI?
Padahal, boleh jadi, peristiwa itu satu-satunya fenomena di dunia dimana bandara bisa diterobos massa. Bukankah ini bisa membuat citra buruk Indonesia? Tapi pengkonstruksian media, tetap saja menyudutkan Islam; dalam hal ini FPI.
Padahal kelompok penyerang FPI di Kalteng, membakar tenda peringatan Maulid. Lagi-lagi media menyorotinya dengan angel beda. Sekali lagi, Islam: baik ajarannya, personal, ormas, partai akan selalu menjadi isu seksi bagi kebanyakan media.
Berita poligami Aa’Gym berbanding terbalik dengan Ariel. Di sini saya tak menekankan poligaminya. Namun, ingin mengilustrasikan perbandingan konstruksi beritanya.
Poligami yang dihalalkan Islam, lalu dilakukan Aa’ Gym, namun ia menjadi bulan-bulanan media. Sebaliknya, Ariel yang melakukan tindakan amoral: bertentangan etika umum dan agama, lantas menjadi terpidana. Ketika keluar penjara masih saja disanjung-sanjung.
Dalam sudut pandang tertentu, perbedaan pemberitaan itu seolah mengirim pesan: poligami jangan, seks bebas oke. Naudzu billah.
Ahmadiyah, yang jelas menistakan Islam justru dibela. Sebaliknya, umat Muslim yang menentang Ahmadiyah digiring bahwa mereka itu melanggar HAM. Teramat banyak racun informasi yang disebar melalui pemberitaan dengan konstruksi mengkerdilkan Islam.
Teramat telanjang penyudutan Islam, bila mengamati pemberitaan soal teroris. Dalam kajian jurnalistik, media seolah malah menjadi corong polisi. Sampai-sampai simbol Islam yang  berkaitan dengan terduga dibesar-besarkan: buku jihad, jenggot, jidat hitam, dan sebagainya.
Berita-berita teroris kental menggiring opini penyudutan Islam, pembunuhan karakter ulama, atau para aktivis Islam.
Tapi berita sparatis, RMS yang notabene non Muslim, tak pernah disebut teroris. Tak pernah dihubungkan dengan agamanya. Benar-benar jauh dari proporsional.
Masih ingat kasus Rohis dituding teroris, hingga Metro Tv diprotes habis? Dan kasus-kasus lain yang beraroma Islam.
Padahal semua praktisi media tahu: sikap jurnalis serta media dalam menyebarkan informasi ke publik harus seusai kode etik jurnalistik. Tapi, banyak didobrak.
Bisa dipastikan pula, sebagian besar jurnalis di Indonesia pernah membaca buku Elemen Jurnalisme (The Elements of Journalism), karangan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang menyebut 9 elemen jurnalisme yang patut diperhatikan insan pers:
Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan.
Selanjutnya, jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi, jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, dan jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Faktanya, dalam mengkonstruksi berita tentang Islam, banyak sekali etika jurnalistik yang didobrak.
Lihat pula kasus terhangat soal PKS.
Nama Islam kembali disudutkan. Sampai-sampai judul pemberitaan Tempo dalam kasus PKS, dinilai menyakiti Islam. MUI, FUI, dan sejumlah elemen umat lain memprotesnya. Tak perlu kita sebutkan judul pemberitaan itu, nanti justru meningkatkan tiras Tempo.
Terlepas mantan Presiden PKS LHI terbukti salah atau tidak, tetap saja: judul di Tempo yang diprotes sejumlah kalangan itu, menyakiti umat Islam.
Umat Muslim benar-benar sabar. Dan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, memanfaatkan itu untuk membusukkan Islam. Sekaligus, menjauhi umat Muslim dari agamanya. Mereka pun berhasil.
Karena itu, tidak bisa tidak, media-media Islam: cetak, online, elektronik  sudah benar-benar sangat dibutuhkan. Perlu didirikan lebih banyak lagi media Islam agar semakin membumi. Baik media skala kecil, menengah sampai besar. Apalagi, kita masih belum punya televisi Islam. Ironis.
Karena itu, melalui kesempata ini izinkan saya mengetuk hati pengusaha Muslim, kiranya berkenan mendirikan media Islam dalam skala wilayah, lokal, nasional, dengan bentuk media apapun: cetak, online, elektronik.
Semoga Allah mempermudah umat ini membuat gurita media Islam: yang mendidik, menyejukkan, mencerdaskan, dan mensejahterakan. Aamiin.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar