Senin, 18 Februari 2013

KEPEKAAN


Ketika seseorang sedang diterpa kegagalan atau sebaliknya dikaruniai kesuksesan, pada hakikatnya dia sedang berada dalama satu peristiwa yang merupakan akumulasi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya yang saling berkaitan. Hanya orang yang memiliki kepekaan terhadap peristiwa-peristiwa yang terangkai dan saling berkaitan itulah yang menyadari keberaaannya dan mampu mengambil hikmah terhadap setiap peristiwa yang dialaminya.
Sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan itu menjadi sebab langsung atau tidak langsung kegagalan atau kesuksesan yang dialaminya. Di dalamnya terkandung kemunginan-kemungkinan yang tidak diketahuinya secara pasti dan tak terhingga jumlahnya. Hanya Allah Swt yang mengetahui hakikatnya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS, al-Baqarah [2]: 216).

Meski demikian, menangkap fenomenanya melalui kepekaan yang kita miliki, dapat membantu untuk memudahkan dalam merangkai dan menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga jumlahnya itu menjadi sebab yang dapat menghindari kegagalan atau meraih kesuksesan. Dengan begitu kita dapat menelusuri rangkaian yang disebut sebab-sebab, yang pada faktanya selalu terangkai dengan pasti.
Dalam konteks pencapaian sebuah harapan atau cita-cita sebab-sebab yang terangkai itu sangat menentukan terhadap gagal dan suksesnya harapan dan cita-cita tersebut. Oleh karena itu Allah Swt memerintahkan agar memperhatikan dan memanfaatkan sebab-sebab yang menjadikan harapan dan cita-cita dapat diraih dikarenakan rangkaian sebab-sebab itu merupakan prinsip yang dharuri dan pasti antara segala peristiwa yang tejadi. Sebab setiap peristiwa atau kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau dari berbagai hal lainnya yang mendahuluinya. Hal itu merupakan sunnatullah yang tetap. “Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.” (QS, al-Ahzab [33]: 62).
Pemanfaatan sebab-sebab atau penghubungan peristiwa-peristiwa dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga jumlahnya itu menjadi sangat penting ketika kita harus menatap masa depan sebagaimana diperintahkan Allah Swt. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (ahirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS, al-Hasyr [69]: 18).
Dalam filsafat dinyatakan bahwa sifat penting kausalitas adalah keselarasan, kesemasaan, dan relasi eksistensial antara sebab dan akibat. Kendati prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam yang di luar hasil “penghubung-hubungan” rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya dikarenakan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas sebelumnya, namun dalam kerangka pencapaian cita-cita atau harapan setiap individu tetap dituntut kepekaan terhadapnya dan kemudian mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya. “Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya sebab (jalan untuk mencapai) segala sesuatu. Maka diapun mengikuti (menempuh) suatu sebab (jalan).” (QS, al-Kahfi [18]: 84-85). Konon, kepekaan sayap seekor kupu-kupu dapat mendeteksi jauh sebelum badai tornado berlangsung sehingga ia dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dialaminya.
Atas dasar itu kita harus memiliki kepekaan, meskipun tidak sepeka sayap kupu-kupu, terhadap peristiwa-peristiwa yang menjadi rangsangan atau stimulasi serta mampu merangkaikannya secara apik. Sebab dari rangkaian-rangaian peristiwa itulah kita dapat mengambil banyak pelajaran atau hikmah. Di dalam rangkaian peristiwa-peristiwa itu pula berbagai kemungkinan dapat diinderai sebagaimana pernah dialami manusia lain. Sedangkan peristiwa-peristiwa yang mungkin dialami manusia lain itu adalah fenomena yang dapat mempengaruhi segala peristiwa yang dialami oleh seseorang.
Dalam pengalaman manusia semua kombinasi peristiwa-peristiwa yang terjadi bersifat acak tetapi saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain. Satu peristiwa yang terjadi bisa membuka atau menutup peluang terjadinya peristiwa yang lain, yang lebih besar. Sebab kemunginan yang dialami seseorang juga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang dialami orang lain. Atas dasar itulah seoah-olah kita berada dalam satu ruang tanpa batas dengan kombinasi kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga jumlahnya.
Sehubungan dengan semua itu selayaknya kita mampu mengambil makna atau hikmah yang telah atau mungin terjadi pada diri kita, baik yang tergolong kegagalan ataupun kesuksesan. Sebab pada hakikatnya setiap peristiwa yang kita alami merupakan rangkaan panjang dari sejumlah peristiwa yang dialaminya atau dialami orang lain.
Setelah menentukan dan mengambil hikmah dari apa yang sedang dialami, kita dituntut dapat membuat keputusan yang tepat berdasarkan kepekaan dan kemampuan kita mengkorelasikan semua kombinasi peristiwa-peristiwa yang terjadi agar terhindar dari tragedi kaki kita terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Dengan begitu berarti kita telah memiliki modal untuk masa depan. Dengan modal kepekaan dan kemampuan mengambil hikmah serta mengambil keputusan yang tepat maka masa depan yang akan kita songsong akan jauh lebih cerah dan menggairahkan. Pada umumnya ketiga hal itulah yang membentuk kebijakan seseorang dalam menghadapi persitiwa apapun yang melandanya dan melahirkan sikap tawakkal, kebergantungan hati secara sungguh-sungguh kepada Dzat Yang Maha Mengetahui dalam meraih kemashlahatan dan mencegah kemudharatan, baik dalam usrusan duniawi ataupun urusan ukhrawi. “Jaka kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah akan memberik rezeki kepadamu sebagaimana burung yang juga diberi rezeki; ketiks fajar menyingsing dia keluar dari sangkarnya dalam keadaan perut kosong dan di senja hari dia pulang dalam keadaan kenyayng.” (HR, Tirmidzi). Wallahu A’lam.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar