Senin, 08 Oktober 2012

Menghakimi Hati Orang Lain


Siapakah yang berhak menghakimi hati seorang muadzin, di saat suaranya merdu berkumandang?
Siapakah yang berhak menghakimi hati seorang yang shalat, di saat berdiri penuh ketenangan?
Siapakah yang berhak menghakimi seorang syuhada, di saat berdiri di tengah pasukan dan tubuh penuh bersimbah darah?
Siapakah yang berhak menghakimi hati seorang yang memasukkan hartanya ke kotak-kotak sedekah?
Siapakah yang berhak menghakimi hati orang-orang yang berbuat kebaikan?
Kadang kala manusia berani sekali berprasangka buruk atas perbuatan orang lain, bahkan memfitnahnya, menjadi hakim atas hati orang lain.
Mengatakan “orang itu” hanya cari muka, hanya cari perhatian, berlagak alim, berlagak khusyuk, baca Qur’annya dimerdu-merduin, cuma pamer harta.  Padahal diri kita sendiri tidak tahu bagaimana isi hati orang pasti dan sebenar – benarnya tetapi kita sudah tampil sebagai orang yang “Maha Mengetahui”.
Umar bin Khattab pernah berpesan, jika seorang melakukan sesuatu hakimilah zhahirnya (lahirnya/yang tampak) saja, tetapi jangan kalian hakimi hatinya. Jika seorang muadzin mengumandangkan adzan, misalnya cukuplah kita menghakimi bagaimana suara yang dikeluarkan. Jika merdu baiklah kita mendoakannya, tetapi jika tidak merdu, juga tidak menjadi masalah juga tetaplah kita menyikapi dengan hati yang baik. Janganlah kita hakimi hati “dia” hanya mencari pujian orang dengan suara adzannya. Orang shalat, bisalah kita menghakimi gerakan shalatnya salah atau benar, janganlah kita hakimi “dia” berlagak khusyu` saja biar dilihat orang.
Sudah seharusnya kita sibuk menghakimi hati diri kita sendiri, karena kita punya pengetahuan akan diri kita sendiri ketimbang kita menghakimi hati orang yang kita tidak Allah berikan kemampuan kepada manusia untuk memiliki pengetahuan akan hal itu. Dia Allah Tuhan yang Maha mengetahui, tidak ada sesuatupun yang terlewatkan dariNya, tidak ada yang tersembunyi, apalagi membohongi diriNya. Dia-lah Allah yang berhak menghakimi hati seseorang, apakah seseorang itu ikhlas atau riya.
Menghakimi hati seorang hanya menambah pekerjaan yang sia-sia, menambah sesak pikiran, menambah racun dan penyakit hati, dan semua itu menyebabkan jiwa rusak, jika jiwa rusak maka rusaklah perbuatan manusia.
Menghakimi hati seorang hanya menambah kecurigaan, menambah prasangka, menambah fitnah, dan karena itu semua tambahlah perpecahan di antara umat Islam. Menghakimi hati seseorang hanya menambah kesombongan, membangga-banggakan diri, dan mengambil hak-hak Allah. Kesombongan hanya milik Allah, membangga-banggakan diri hanya milik Allah, sedangkan manusia tidak ada hak setitikpun untuk mengambilnya.
“Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk ke dalam surga, seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan (takabur) seumpama biji sawi.” Seorang laki-laki bertanya:”Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai supaya bajunya bagus dan sandalnya bagus.” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Indah, Dia menyukai keindahan. Kesombongan itu menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain.”
Wallahu a’lam.


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar