Ragu dan bimbang, mungkin itulah sapaan pertama yang dirasakan kalangan akhwat/muslimah/hawa atau perempuan ketika disandingkan dengan konteks dakwah. Keraguan akan semakin bertambah ketika amanah demi amanah yang mereka emban semakin waktu semakin bertambah dan berkembang. Bukan meminta, tapi jika itu sudah kewajiban maka lagi yang hendak dilakukan? Selain mencoba menjalankan dengan seoptimal mungkin. Dengan pelurusan niat, sejati dan sempurna karena Allah. Belajar. Itulah kunci yang bisa diterapkan dalam segala keadaan. Kebimbangan maupun keraguan akan bisa dikesampingkan juga karena diiringi dengan proses penggalian data, kemudian mengolahnya menjadi sajian yang disebut informasi, lantas dirangkum sampai dalam tataran hikmah dan ilmu. Insya Allah…
Setidaknya ada tiga alasan penting dakwah muslimah. Pertama, dakwah itu kewajiban siapapun yang menyatakan sebagai seorang muslimah. Kedua, dakwah muslimah sesungguhnya bentuk pembelaan sekaligus perlawanan atas musuh-musuh Islam. Ketiga, dakwah Muslimah akan lebih mengena dan efektif bila yang banyak berperan adalah para Muslimah dakwah (daiyah), meskipun bukan berarti kaum lelaki Muslim menjadi lepas kewajibannya untuk mendakwahi kaum perempuan.
Wilayah dakwah Muslimah bukan hanya berarti melulu berkaitan dengan kaum wanita pada umumnya atau kaum Muslimah beserta hal-hal yang berkaitan langsung dengan dunia perempuan saja. Memang, secara khusus lahan dakwah bagi Muslimah adalah kaum Muslimah dan kaum perempuan dengan segala hal yang mengelilinginya. Namun, secara umum lahan dakwah Muslimah tidak ada bedanya dengan lahan dakwah kaum laki-laki Muslim.
Di antara keduanya akan kelihatan berbeda dalam penerapan fikih dakwah, terutama dalam penerapan etika bagi Muslimah dakwah, kita bisa melihat pelaksanaan kewajiban-kewajiban seorang Muslimah: kewajiban terhadap agama, terhadap dirinya, terhadap keluarganya dan terhadap masyarakat. Inilah empat kewajiban Muslimah dakwah yang akan melahirkan kewajiban-kewajiban lain seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan dalam menjalankannya.
Setidaknya, tulis Mahmud Muhammad al-Jauhari, ada sepuluh etika bagi Muslimah dalam menjalankan dakwahnya:
- Berorientasi untuk menaati Allah dan Rasul-Nya serta mencintai keduanya.
- Berkomitmen pada adab (tata krama Islam) sebelum nilai estetika dan tidak menggunakan harta suami kecuali atas izinnya.
- Perhatian istri harus terfokus pada kewajiban-kewajibannya di rumah dan perbaikan urusan kerumahtanggaan.
- Menetapi rasa malu pada suami; diam dan mendengarkan ketika suami sedang berbicara, lalu menghormati dan menaatinya.
- Menghormati keluarga serta kerabat suami.
- Qana’ah (puas) dengan rezeki yang diberikan oleh Allah melalui suami.
- Mendahulukan hak suami atas hak siapa pun setelah hak Allah dan Rasul-Nya.
- Tidak menyebut kekayaan, kecantikan, kedudukan perempuan lain kepada suami.
- Tidak keluar rumah kecuali atas izin suami.
- Selalu cemburu kepada suami, dan menjaga perasaan serta kehormatan suaminya.
Yang menjadi persoalan di sini bukan mungkin atau tidak mungkin seseorang Muslimah dapat menjalankan itu semua. Akan tetapi, seberapa besar tekad dan usahanya untuk mrtaih kewajiban-kewajiban itu, termasuk dalam manajemen tawazun.
Jadi, sampai di sini jelaslah bahwa lahan mana pun bisa menjadi wilayah dakwah muslimah, sepanjang tidak melanggar kewajiban-kewajiban sebagai ibu dari anak-anaknya atau istri dari suaminya. Di sinilah pentingnya seorang Muslimah dakwah dapat menjalankan agenda-agenda tersebut dengan skala prioritas dan manajemen tawazun. Wallahu a’lam bishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar