Oleh: Nuim Hidayat (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Kota Depok)
Ibarat perang Uhud di masa Rasulullah saw, tokoh-tokoh Islam di Solo dan Jakarta kini tentu berduka. Karena di daerah kesayangannya, mesti dipimpin oleh Nashrani. Jakarta wagubnya Ahok dan Solo Walikotanya FX Hadi Rudyatmo.
Perang Uhud di masa Rasulullah saw memang menyedihkan. Pasukan Islam yang tadinya sudah menang, tapi karena pasukan inti pemanah lari ke bawah bukit tergiur rampasan perang maka mereka meninggalkan pos-pos pertahanannya. Karena itu pasukan kafir kemudian ganti ke atas bukit untuk memanahi orang-orang Islam yang ada di bawah tadi. Begitulah kira-kira perumpamannya, umat Islam akan ‘selalu’ mengalami kekalahan bila sudah tergoda dengan gemerlapnya kemewahan-kemewahan duniawi, lupa akan nilai-nilai Islam mulia yang harus diperjuangkannya.
Inilah barangkali pelajaran berharga dari kemenangan Jokowi-Ahok. Terlepas dari Jokowi ‘mungkin’ lebih profesional dari Foke, tapi yang jelas kini kaum Kristiani bersorak atas kemenangan ini. Sebuah stasiun swasta menyiarkan bagaimana ‘pendeta’ Kristen memberikan ceramahnya –setelah seorang ‘kiyai’ berceramah- dan mengucapkan haleluya kepada kerumunan massa yang mengitari markas pemenangan mereka di Jakarta. Hal yang sama tentu akan dilakukan mereka juga di Solo.
Umat Islam di Jakarta dan Solo yang mempunyai sedikit ’ghirah Islam’ tentu berduka. Bagaimana mungkin dua kota yang mayoritas Islam dan Islamnya cukup ‘kental’ dipimpin oleh Nashrani? Tahun 2007, Umat Islam di Kalimantan Tengah juga berduka, karena daerah tercintanya juga dipimpin Nashrani, Gubernur Teras Narang.
Kita patut mengevaluasi diri. Mengapa semuanya ini terjadi? Pertama, harus diakui bahwa selama ini yang berhasil naik di jabatan-jabatan politik, seringkali pemimpin-pemimpin Muslim ‘lupa daratan’. Yakni wakil dari umat yang berhasil naik jadi menteri, gubernur. Bupati, DPR/DPRD dan lain-lain seringkali tidak memberi contoh teladan yang baik kepada umat. Naiknya mereka ke jabatan politik seringkali digunakan sekedar untuk memperkaya diri dan partai atau golongannya. Yakni kepemimpinan para pejabat ‘Muslim’ itu tidak menjadi teladan bagi orang-orang yang mengangkatnya atau masyarakatnya.
Dalam dialognya dengan Amien Rais, Kuntowijoyo dkk pada 1986-1987, Mohammad Natsir saat itu mengkhawatirkan adanya penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, yaitu cinta berlebihan kepada dunia. Kata Natsir: “Umat Islam dihinggapi penyakit wahn, yakni dunia yang berlebihan dan takut mengambil risiko. Keadaan semacam ini pernah terjadi dalam sejarah, pada waktu itu para prajurit yang ikut berperang karena tergiur pada harta rampasan perang, lalu karena kelengahan dan kepongahan ini mereka dengan mudah dikalahkan musuh. Hal ini terjadi pada saat Islam mengembangkan sayapnya di daratan Eropa.
Di negara kita penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang “baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian elite masyarakat). Tetapi gejala yang “baru” ini, akhir-akhir ini terasa pesat “perkembangannya”, sehingga seperti sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.
Penyakit cinta dunia ini, dengan demikian, memang bukan semata-mata permasalahan dakwah, yang harus dihadapi para mubaligh dan dai, tetapi sudah merupakan permasalahan nasional. Dalam konteks yang terakhir ini masalahnya menjadi lebih sulit ( complicated) karena bukan saja merupakan masalah ekonomi, tetapi masalah sosial, budaya, dan bahkan politik. Untuk ini terpulanglah kepada para pengambil keputusan untuk mengatasinya.”
Kedua, ego masing-masing dari tokoh Islam atau ‘partai Islam’ terhadap calon yang dipilih. Calon yang dipilih bukan diseleksi yang terbaik, yang bisa mengurusi masyarakatnya dengan baik, tapi berdasarkan kepentingan partai atau pribadinya. Padahal seharusnya tokoh-tokoh Islam bermusyawarah secara serius memilih dan menetapkan calon terbaik untuk wakilnya. Rasulullah saw mengecam orang yang tidak memilih pemimpin yang terbaik.
Kedua, banyaknya kelompok Muslim kini yang apolitis. Yakni karena melihat tingkah laku para politikus atau pejabat politik yang mengecewakan, akhirnya mereka cenderung golput. Tidak mau berusaha menganalisis akibat-akibat tindakan politis yang diambilnya. Apalagi ada kelompok Islam tertentu yang kini mengharamkan adanya pemilihan umum (apakah pemilihan presiden/dpr/gubernur dll). Kelompok ini tidak peduli apakah yang naik syetan atau malaikat. Apakah yang naik Muslim atau Kristen. Bagi mereka sama saja, karena menurut mereka untuk apa memilih toh yang diterapkan bukan syariat Islam. Mereka tidak melihat kini banyak lahir perda-perda atau undang-undang yang menguntungkan umat Islam.
Kelompok seperti ini sebenarnya tidak jelas konsep politiknya. Mereka bisa dikatakan, tidak mempelajari sejarah politik Islam Indonesia secara serius dan benar. Dan membiarkan kelompok Muslim yang berjuang dalam sistem sendirian.
Padahal bila mereka ada ukhuwah, maka mereka bisa banyak berbuat. Mereka bisa melakukan amar ma’ruf nahi mungkar bila pemimpinnya Muslim. Bisakah mereka berharap amar ma’ruf nahi mungkar kalau pemimpinnya non Muslim? Dan apakah mungkin aspirasi-aspirasi mereka bisa tertampung bila pemimpinnya non Muslim?
Mereka lupa Islam masuk ke Nusantara dengan jalan damai dan para ulama melakukan dakwah serius dan ‘evolusioner’ sehingga akhirnya Islam mewarnai Nusantara ini. Lihatlah revolusi yang terjadi Indonesia tahun 1945 dan 1998 apakah menguntungkan umat Islam? Saat itu para ulama tidak memperdulikan bentuk apakah kerajaan, republik atau lainnya. Yang penting nilai-nilai Islam bisa masuk ke masyarakat, ke penguasa dan akhirnya Islam mewarnai mayoritas penduduk Indonesia, mengalahkan Kristen/Katolik yang didukung penguasa Kerajaan Belanda dan keuangan yang tidak terbatas. Kristen/Katolik hanya berhasil di sedikit wilayah tanah air. Islam juga berhasi menjadi keyakinan mayoritas masyarakat menggantikan Hindu-Budha atau animisme yang memang bertentangan dengan fitrah manusia. Karena ajaran kastanya, ‘magisnya’ dan kitabnya yang sulit diterima akal sehat manusia.
Jadi bila sikap apolitis ini terus dipelihara, bukan tidak mungkin presiden atau wakil presiden nanti dipimpin oleh orang Kristen. Kepala TNI/Polri/Kapolda/Kapolres dipimpin oleh Nashrani dan seterusnya.
Dan bila itu terjadi terus,mereka ‘mayoritas’, suatu saat peristiwa pembantaian dan pengusiran umat islam di Ambon 1999 atau pembantaian ratusan ribu umat islam di Spanyol (abad 15) bisa terulang di Indonesia. Bukankah lebih dari 700 tahun umat Islam berkuasa di Andalusia tapi akhirnya habis tergantikan oleh kaum Nashrani?
Maka bila umat Islam mau berperan di negeri ini kita ‘mesti’ mengikuti aturan yang ada. Sambil berusaha membuat aturan-aturan baru yang menguntungkan umat Islam. Aturan ini ibaratnya perjanjian Muslim dengan non Muslim. Bila dulu para ulama tidak memperdebatkan kerajaan atau kekhalifahan atau republik, maka saatnya kita tidak lagi memperdebatkan demokrasi dan Islam. Kini yang ada dihadapan kita demokrasi, bukan kerajaan atau kekhalifahan. Masih alhamdullah demokrasi, coba kalau di depan kita kerajaan apakah tidak lebih merana? Karena baru mengritik saja, kita bisa dipenjara. Yang ada dihadapan kita demokrasi-pancasila-piagam Jakarta dan seterusnya. Mau kita apakan negeri kita ini? Mau kita bawa ke Islam atau kita biarkan rusak-rusakan. Biarkan jabatan-jabatan politik, militer, hakim dstnya ke tangan orang-orang non Muslim. Dan suatu saat kita akan revolusi. Sebelum anda mimpi revolusi bisa jadi anda sudah ‘direvolusi’ duluan.
Kita bisa mengibaratkan dengan kehidupan kita dalam kampus dulu. Dengan berbagai aturan yang ada di kampus –mungkin sebagiannya bertentangan dengan Islam—bukankah kita tetap bergairah melaksanakan islamisasi di Kampus? Kita menginginkan orang-orang kita dapat duduk sebagai dosen, dekan atau bahkan rektor. Karena para pejabat itulah nanti yang akan menjabarkan peraturan dalam kampus itu. Sambil berfikir demikian, tentu kita terus berdakwah di kampus sesuai dengan kemampuan kita. Terfikirkah anda mau merevolusi kampus itu?
Begitu juga dalam sebuah Negara. Adanya sistem seperti ini. Maka di sini kita harus ‘pinter-pinteran’ menguasai jalur-jalur politik itu dengan cara ‘demokratis’. Tidak dengan jalan kekerasan. Kecuali bila orang-orang non Muslim main keras atau main fisik, kita pun harus main fisik ke mereka. Bukankah dalam Al Qur’an kalau mereka cenderung damai, kita juga diharuskan untuk berdamai?
Sementara sebagian kita apolitis, kalangan non Muslim Indonesia tidak ada yang apolitis. Mereka semua, apakah pengusaha, pendeta, rohaniawan, uskup, guru, wartawan dll bermain politik. Sebagian di kalangan kita senang berfikir internasional, lupa berfikir nasional. Senang memperhatikan politik luar negeri, lupa politik dalam negeri. Mestinya kan kita memperhatikan dua-duanya.
Padahal masing-masing kita berkewajiban menjaga daerah kita agar Islami. Kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar adalah yang terdekat bagi kita. Kalau daerah pertahanan kita tinggalkan bukankah akan dimasuki oleh non Muslim?
Karena itu ulama-ulama besar kita baik di Masyumi (Muhammadiyah, Al Irsyad dll) maupun NU atau ormas-ormas Islam lainnya, setelah gagal memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara di Majelis Konstituante (1956-1959) mereka tidak mengadakan pemberontakan kepada Negara. Mereka bersyukur adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan secara eksplisit Piagam Jakarta (yang di dalamnya Syariat islam) menjiwai UUD 45. Mereka bersyukur Piagam Jakarta dan Pancasila merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Yakni mau dibawa kemana UU dan UUD kita adalah terserah kita sendiri. Mau dibawa Islam atau sekuler. Mau dibawa ke Islam atau ke kafir. Disitulah pertarungannya.
Ulama besar Hamka, Mohammad Natsir, KH Wahid Hasyim, Agus Salim, Ahmad Hasan dan lain-lain, bersepakat menjadikan negeri ini menjadi negeri Islami yang demokratis. Bukankah mereka guru terbaik kita? Mereka mungkin dalam satu dua hal masih kalah pinter dengan ulama Timteng. Tapi mereka adalah ulama dan pejuang yang memahami wilayahnya. Itulah strategi yang Rasulullah sw lakukan dalam dakwah, dimana masing-masing utusan Rasulullah saw memahami kondisi riil umatnya. Tidak meloncat memikir dunia luar, sementara negeri sendiri ‘rusak’ dibiarkan.
Ingatlah negara-negara yang mencantumkan Islam secara eksplisit sebagai dasarnya, seperti di beberapa Negara Timur Tengah dan Pakistan, apakah selesai masalah umat Islam? Ternyata tidak. UU adalah tulisan, yang memaknai dan menjalankannya adalah manusia. Dan disitulah kelihaian pemerintah Amerika mendidik elit-elit penting di negeri-negeri Islam, dan setelah pulang mereka memimpin negeri itu dan seringkali bermusuhan dengan mayoritas rakyatnya sendiri. Jadi meski UUDnya eksplisit Islam, bila pemain-pemain politiknya pemikirannya sekuler atau kafir, maka tidak ada gunanya.
Tugas kitalah sekarang mendidik generasi muda Islam yang akan memimpin negeri islam Indonesia ini kembali. Karena hakekatnya negeri kita sudah negeri Islam, tinggal kita bertarung secara demokratis dengan kaum non Islam menguasai negeri ini. Di media massa, umat Islam sudah kalah. Siapa yang menguasai keredaksian atau hiburan TV-TV swasta? Siapa yang menguasai ekonomi Indonesia? Dan seterusnya. Sekali lagi, bila dalam politik pun kita tidak menguasai, bukan tidak mungkin peristiwa Andalusia akan terjadi disini. Mudah-mudahan tidak dan Allah SWT menjaga negeri ini agar menjadi baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Marilah ukhuwah Islamiyah kita tegakkan di tanah air Islam tercinta ini. Di bumi yang sila-silanya hasil musyawarah tokoh-tokoh Islam pendahulu kita (kesatuan piagam jakrata dan pancasila). Ingat bagaimana kejeniusan tokoh-tokoh kita menamakannya dengan Piagam Jakarta meniru Piagam Madinah Rasulullah saw. Di bumi yang dimerdekakan dari penjajah Belanda kafir oleh mayoritas para pejuang dan ulama-ulama Islam dengan darah, keringat, raga dan tulisan mereka. Orang Muslim yang di DPR/DPRD, gubernur, bupati dll adalah saudara-saudara kita yang perlu kita dakwahi. Perlu kita ajak bareng-bareng ke surga dengan memberikan teladan dan membuat aturan-aturan yang Islami atau tidak bertentangan dengan Islam. Bagi mereka yang non Muslim, kita dakwahi mereka agar masuk Islam.
Sambil mengislamkan tanah air, kita juga berusaha mengislamkan negeri-negeri di luar kita. Negeri kita telah ditakdirkan Allah sebagai negeri dengan umat islam terbesar. Bila kita bisa menata negeri ini menjadi Islami, bukan tidak mungkin negeri kita menjadi ‘pemimpin’ negeri-negeri islam lainnya dan sebagai pemersatu bagi dunia Islam kelak. Insya Allah.
http://suaranews.com/4129/pelajaran-dari-politik-jakarta-solo
0 komentar:
Posting Komentar